Polisi Janji Bakal Transparan Ungkap Obat Sirup Berbahaya

ilustrasi obat sirop
Sumber :
  • Pixabay

Malang – Kasus obat sirop yang diduga menyebabkan gagal ginjal sampai saat ini masih dalam penyelidikan polisi. Terkait hal ini, Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri, Brigjen Pipit Rismanto berjanji bahwa Polri bersama Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan mengungkap kasus obat sirop yang diduga menyebabkan gagal ginjal secara profesional dan transparan. 

Pabrik Tas Rajut Kaboki Pasuruan Terbakar Hebat, Pembakar Ditangkap Polisi

"Polri tentunya sama-sama melakukan penegakan hukum secara transparan dan objektif," kata Pipit di Banten pada Senin, 31 Oktober 2022.

Maka dari itu, penyidik Polri perlu mengumpulkan sampel berkoordinasi atau join investigasi dengan BPOM. Selain itu, kata Pipit, Polri juga berusaha mengumpulkan data sampel kerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan.

Taekwondo Piala Pj Wali Kota Malang Jadi Ajang Cari Bibit Atlet dan Sport Tourism

"Karena ini ada tupoksi juga yang menjadi tanggungjawab BPOM, maka perlu kita mendalami masalah ini secara komprehensif. Mana yang tidak bisa dijangkau oleh BPOM, Bareskrim yang akan menjangkau," ujarnya.

Nantinya, Bareskrim dalam melakukan gelar perkara bersama-sama dengan Kementerian Kesehatan dan BPOM. Oleh karena itu, pihaknya perlu diberikan hasil pemeriksaan sampel dari sampel yang sudah dilakukan BPOM.

2 Profesor Baru FEB UMM Dikukuhkan

"Kami mohon, kami juga diinformasikan hasilnya sehingga nanti kami melakukan gelar perkara bersama-sama pungkasnya.

Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo mengatakan penyidik Bareskrim bersama Kementerian Kesehatan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih melakukan penyelidikan terkait obat sirop yang diduga mengandung Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).

Menurut dia, penyidik akan gelar perkara setelah hasil lab keluar.

“Saya sudah sampaikan, itu (gelar perkara) tunggu hasil lab dulu, labnya harus clear dulu,” kata Dedi di Mabes Polri pada Senin, 31 Oktober 2022

Sebab, Dedi menyebut penyidik melakukan uji laboratorium sampel urine dan darah terhadap pasien korban yang konsumsi obat sirop hingga menyebabkan gagal ginjal. Nah, pasien yang diuji sampelnya itu dari berbagai daerah di Indonesia.

“Kan bukan hanya di Jakarta, tapi seluruh Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan,” ujarnya.

Menurutnya, pasien korban gagal ginjal akibat minum obat sirop di beberapa provinsi cukup banyak termasuk yang dirawat. Makanya, hasil laboratorium ini yang paling menentukan untuk meningkatkan statusnya dari penyelidikan jadi penyidikan.

“Nanti juga akan disampaikan penyidik untuk meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan. Kita enggak boleh buru-buru. Paling penting hasil laboratorium secara komprehensif. Kan cukup banyak, urinnya sendiri, darahnya sendiri, sampel obat yang diminum itu juga sendiri harus di uji lab semuanya,” jelas dia.

Sebelumnya diberitakan, Kepala Badan BPOM, Penny K Lukito mengatakan dua perusahaan farmasi terbukti melakukan tindak pidana dalam memproduksi obat sirup mengandung pelarut cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG), yaitu PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical.

Menurut dia, BPOM telah berkolaborasi dengan Bareskrim Polri melakukan operasi bersama sejak Senin, 24 Oktober 2022 terhadap industri farmasi yang diduga mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG), yaitu PT. Yarindo Farmatama dan PT. Universal Pharmaceutical.

“PT. Yarindo beralamat di Cikande, Serang Banten. PT. Universal Pharmaceutical beralamaf di Tanjung Mulia, Medan, Sumatera Utara,” kata Penny dikutip dari Youtube BPOM pada Senin, 31 Oktober 2022. 

Menurut dia, BPOM bersama Bareskrim tentu melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dari dua perusahaan tersebut, saksi ahli pidana, saksi dari distributor termasuk dokumen-dokumen. Alhasil, didapati adanya bahan baku produksi obat sirup yang mengandung EG dan DEG melebihi ambang batas. 

“Berdasarkan pemeriksaan tersebut, patut diduga telah terjadi tindak pidana yaitu memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi tidak memenuhi standar kesehatan keamanan khasiat atau kemanfaatan dan mutu,” jelas dia.

Hal tersebut, kata Penny, sebagaimana dalam UU Nomod 36 tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 196, Pasal 98, Ayat (2) dan Ayat (3) dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Dan, memperdagangkan barang yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar Peraturan Perundang-undangan Pasal 62 Ayat (1) dan UU RI Nomor 8 tentang pelindungan konsumen yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp2 miliar.