Tak Terlena Growth, Startup Harus Perhatikan Ini
Malang – Tsunami pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi pada perusahaan rintisan membuat para founder melakukan introspeksi.
Salah satu yang hal yang menjadi koreksi adalah bagaimana startup tak terlena dengan pertumbuhan (growth) sebagai satu-satunya indikator kesuksesan.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, indikator pertumbuhan terdiri dari beberapa aspek. Mulai dari jumlah pengguna, karyawan, pendapatan, gross merchandise value (GMV) dan lainnya.
Metriks pertumbuhan tersebut memang diperlukan, Namun, startup juga harus menyusun path of profitability, memikirkan burn rate, cost, return of investement dan sebagainya.
Ketua Umum Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (Amvesindo), Eddi Danusaputro mengatakan, perusahaan rintisan kerap mendengar growth all cost alias bakar uang untuk meraih pertumbuhan, mengakuisisi user dan rekrut karyawan sebanyak mungkin dan promosi besar.
Namun, menurut Eddi, hal tersebut kurang relevan. Sebab, hal tersebut kemungkinan masih berlaku bagi startup early stage.
“Memang di fase ini, mereka perlu menunjukkan growth yang kencang. Misalnya, saat mereka di tahap pendanaan seri A. Di atas itu, mereka sudah harus memikirkan value, customers, dan sebagainya," kata dia.
"Artinya, tidak melulu cost. Paling penting, sudah memiliki path of profitability dan syukur-syukur sudah menuai profit. Oleh karena itu, startup tak bisa terus bakar duit apalagi itu duitnya investor,” imbuh pria yang juga CEO Mandiri Capital Indonesia (MCI).
Untuk itu, saat awal membuat startup, founder harus memperhatikan banyak hal. Tak perlu bakar uang dengan merekrut karyawan sebanyak-banyaknya dengan gaji besar, promosi besar hingga merilis produk baru.
Sehingga, tidak perlu melakukan penghentian mendadak ketika terjadi masalah dan terpaksa melakukan efisiensi. Artinya, Growth dan Cash Flow harus seimbang.
Eddi juga menekankan, startup tak perlu kehilangan karakternya saat mengadopsi tata kelola bisnis yang baik (good governance) maupun prudent seperti yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan konvensional yang berkelanjutan.
Idealnya memang kombinasi. Tidak sepenuhnya kultur startup, tetapi juga tidak sepenuhnya kultur korporasi konvensional.
Sementara itu, Editor-in-chief DailySocial.id, mengatakan, perusahaan rintisan di Indonesia saat ini harus memikirkan keberlanjutan bisnis di masa depan.
Startup perlu memperhatikan sistem pengelolaan bisnis dan tata perusahaan yang solid dan berkelanjutan.
“Dengan kondisi seperti sekarang, para startup tidak perlu lagi untuk mendewakan growth sebagai satu-satunya matriks kesuksesan. Agar runway mereka tetap terjaga, mereka harus mulai fokus pada sustainability," kata dia.
"Mau tak mau, dengan kondisi sekarang ini, mereka perlu memperhatikan asas prudential, likuiditas, dan sustainability yang mungkin akan menjadi buzzword-buzzword baru di kalangan startup saat ini,” kata Amir.
Pengelola startup, sebaiknya bisa membangun keseimbangan antara growth dengan cash flow. Saat ini, para VC juga mulai melihat cash flow positif sebagai standar tujuan baru agar tidak terseok-seok saat menghadapi situasi sulit.
Meski demikian, Amir merasa hal tersebut tak gampang diwujudkan oleh startup di saat-saat awal.
“Menyeimbangkan antara growth dan cash flow akan menjadi norma bagi startup. Meski valuasinya rendah, matriks kesuksesannya juga berubah,” papar dia.
ia juga mengingatkan para startup juga fokus pada solusi yang ingin ditawarkan kepada masyarakat. Solusi tersebut menjadi salah satu hal yang terus diwujudkan dan dikembangkan bila startup tersebut terus eksis di masa mendatang.
“Dalam tren ke depan, layoff mungkin saja masih akan terjadi sebagai salah satu langkah yang diambil agar bisnis startup tetap survive. Namun, perlu juga untuk melakukan reorganisasi maupun restrukturisasi untuk bisa bertahan hidup, paling tidak untuk satu atau dua tahun ke depan," tandas dia.