IAI Kecam Praktik Influencer Yang Meresahkan Industri Kosmetik Lokal
- Hendro Sumardiko / Istimewa
Jakarta, VIVA – Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), yang mewakili lebih dari 110.000 anggota apoteker di seluruh Indonesia, menyampaikan keprihatinan mendalam terkait maraknya ulasan negatif oleh sejumlah influencer terhadap produk kosmetik lokal.
Praktik ini dinilai tidak hanya merugikan produsen dalam negeri tetapi juga mengancam kepercayaan masyarakat terhadap lembaga resmi seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR Ri, Yunus Adi Prabowo, advokat IAI, menegaskan bahwa hanya BPOM yang memiliki otoritas untuk memberikan persetujuan dan izin edar produk kosmetik di Indonesia.
"Kegaduhan yang terjadi beberapa bulan terakhir disebabkan oleh influencer yang berbicara berdasarkan persepsi pribadi tanpa kompetensi yang memadai. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi resmi," ujar Yunus.
Yunus juga menyoroti dampak negatif dari ulasan tidak bertanggung jawab tersebut, yang menyebabkan masyarakat meragukan kualitas produk lokal dan lebih memilih produk impor.
"Akibatnya, perusahaan kosmetik lokal, termasuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), terancam bangkrut, yang pada gilirannya meningkatkan angka pengangguran, termasuk di kalangan apoteker," tambahnya.
Selain itu, Yunus mengapresiasi kinerja BPOM dalam menjalankan tugasnya dengan baik, memastikan bahwa setiap produk yang mendapatkan izin edar telah melalui prosedur yang ketat dan aman untuk digunakan masyarakat.
Menanggapi isu serupa, dr Janet Aprilia Stanzah, praktisi kecantikan dan mantan Ketua Perhimpunan Dokter Estetika Indonesia DKI Jakarta periode 2012-2023, menyatakan keprihatinannya terhadap maraknya ulasan negatif terhadap produk kosmetik lokal oleh oknum tertentu.
"Saya prihatin sekali dengan adanya ulasan yang menjelek-jelekkan produk lokal di hadapan publik, padahal produk tersebut telah mendapatkan izin resmi dari BPOM, dan uji laboratorium yang dilakukan belum tentu valid akreditasinya," kata Janet.
Janet menekankan bahwa tindakan oknum tersebut dapat menggiring opini masyarakat untuk tidak mempercayai BPOM dan produk skincare lokal, sementara klaim dari oknum tersebut justru lebih dipercaya.
"BPOM adalah lembaga resmi negara yang mengawasi dan mengatur produk obat, makanan, kosmetik, dan produk kesehatan lainnya agar aman sampai di masyarakat. Nah, kompetensi orang tersebut apa sehingga merasa lebih tinggi dari BPOM?" tambahnya.
Ia juga menganjurkan masyarakat yang merasa dirugikan oleh produk kosmetik tertentu untuk segera melapor langsung ke BPOM.
"Jangan mudah terkecoh, apalagi dengan produk yang viral. Karena setiap orang memiliki karakter kulit yang berbeda-beda, begitu pun dengan kecocokan terhadap obat juga berbeda," kata Janet.
Yunus Adi Prabowo menambahkan bahwa banyak apoteker kini tidak hanya berperan sebagai tenaga profesional tetapi juga sebagai pengusaha yang mendirikan pabrik dan perusahaan kosmetik.
Salah satunya adalah Heni Sagara seorang pengusaha kosmetik yang telah mencatat rekor MURI 4,614 formula, akibat ulasan influencer yang membuat setingan seolah-olah Apotek Heni Sagara membuat produk over claim dan berbahaya. Hal ini tentunya merugikan bagi pihak pengusaha dan pekerja yang berjumlah ribuan terancam diberhentikan karena banyak pembatalan pesanan masal akibat kisruh ini.
Bahkan Santer terdengar jika Heni Sagara juga menjadi target pemerasan oleh salah satu inflencer nakal sebesar Rp500 miliar.
IAI juga menyoroti kekosongan hukum terkait pengujian produk kosmetik oleh laboratorium.
"Perlu ada pengaturan jelas mengenai siapa yang berwenang melakukan uji lab, serta tanggung jawab laboratorium dalam menjaga kerahasiaan produk yang diuji. Metode dan alat pengujian juga harus distandarisasi untuk menghindari perbedaan hasil," tutur Yunus.
Sebagai penutup, IAI mengajak semua pihak untuk lebih bijak dalam menyikapi ulasan produk kosmetik dan selalu merujuk pada lembaga resmi seperti BPOM dalam menilai keamanan dan kualitas produk