Ada Kejanggalan Eksekusi Rumah Oleh PN Malang Di Jalan Muria
- Viva Malang
"Penandatanganan dilakukan tanpa ada penjelasan rinci tentang dokumen yang dibuat," tutur Jhon.
Jhon mengungkapkan, bahwa cicilan pelunasan hutang awalnya berjalan lancar awalnya. Tetapi mulai ada kendala saat pandemi COVID-19 pada 2020 lalu yang mengakibatkan cicilan tersendat. Setelah itu, sertifikat berganti nama Biyanto. Sertifikat kemudian dijaminkan ke sebuah BPR di Kepanjen, Kabupaten Malang.
"Kami tidak tahu jumlahnya berapa, tapi waktu lelang nilainya Rp1,6 M. Permasalahannya satu, perpindahan hak dari Hari Wijaya ke Biyanto ini cacat hukum. Itu yang menjadi masalah. Kami menilai karena perjanjian ini cacat hukum, maka kami membuat gugatan," tuturnya.
Membuat keluarga semakin kecewa gugatan yang mereka layangkan di Pengadilan sebulan lalu baru menjalani dua persidangan dan belum mendapatkan keputusan yang inkrah. Justru datang surat pemberitahuan rencana eksekusi.
"Saya mengajukan perlawanan. Gugatan kami layangkan Senin pekan ini. Ada dua gugatan, pertama perbuatan melawan hukum dan satunya perlawanan. Perlawanan itu sah karena ada perkara yang belum selesai. Seharusnya eksekusi itu ditunda karena belum ada putusan. Seharusnya diperiksa dulu perlawanan ini," kata John.
Jhon mengklaim nilai obyek rumah ditaksir Rp5,3 miliar namun dilelang dengan harga Rp1,6 miliar. Janggalnya, pemenang sekaligus pengaju lelang adalah BPR.
"Kami ingin ada keadilan. Ahli waris, klien saya, tidak mengerti apa-apa. Sederhananya, hutang Rp350 juta, dengan harga rumah Rp5,3 M seharusnya bisa terbayar. Ini kan mestinya, setidak-tidaknya ada kembalian ke ahli waris yang sah. Karena pemenang lelang itu juga mereka, akhirnya timbul pertanyaan, bagaimana mungkin harga Rp5,3 miliar dilelang menjadi Rp1,6 miliar?," ujarnya.