Ini yang Harus Dilakukan Startup Agar Bebas dari Tsunami PHK
Edward menilai, hal tersebut adalah sebuah kulminasi dari 'trial and error' yang telah dicoba sejak beberapa waktu lalu. Sehingga terbukti harus dilakukan perubahan.
"Saya enggak bilang salah, tapi keputusan bisnis dalam arti apakah bisnis modelnya belum tepat atau target market-nya masih salah, atau ada value change yang mereka fokusnya terlalu lebar," kata pria yang juga Managing Partner Ideosource Venture Capital ini.
sementara itu, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) M. Tesar Sandikapura mengatakan, sejauh ini, banyak startup yang hanya fokus pada perolehan transaksi dan valuasi, bukan profit. Menurut Tesar, hal ini sudah diprediksi sejak lima tahun terakhir.
"Ini kesalahan kelompok bukan founder, CEO atau siapa, tetapi kolektif termasuk investor. Mengurangi karyawan itu hanya membantu 20-30 persen terhadap total biaya operasional atau operating expenses [opex]. Sisanya itu yang harus dibabat. Jadi kalau mau benar dia harus melakukan pencarian bisnis model baru yang lebih tepat sasaran dan lebih jelas profitnya," tegas dia.
Selama ini, kata Tesar, model bisnis yang kerap dilakukan startup adalah 'bakar uang' dan bukan mengejar profit layaknya bisnis sesungguhnya. Selama lima sampai 10 tahun terakhir, startup hanya mengejar omzet, transaksi serta valuasi saja. Seperti yang dilakukan Gojek, Bukalapak dan unicorn lainnya.
Tesar menguraikan, jika startup masih menggunakan model bisnis tersebut, akan ada satu titik dimana perusahaan tersebut akan terhambat karena cash flow-nya berkurang. Apalagi, revenue yang didapat kebanyakan dari investor, bukan dari profit.
"Mereka bisnis modelnya mengejar valuasi, omzet dan transaksi yang tinggi, bukan profit. Ini pasti diujung akan terguling ketika investor tidak menyuntikkan dananya lagi," tandas dia.