[Opini] Menelisik Hukum dan Tanggung Jawab Insiden Olahraga Tragedi Kanjuruhan

Spanduk berisi rangkaian momen Tragedi Kanjuruhan
Sumber :
  • Viva Malang

Malang, VIVA – Menelisik Hukum dan Tanggung Jawab Insiden Olahraga Tragedi Kanjuruhan yang terjadi tepat pada 1 Oktober 2022 merupakan salah satu insiden paling memprihatinkan dalam sejarah olahraga Indonesia, meninggalkan luka mendalam tidak hanya bagi keluarga korban tetapi juga masyarakat luas. Insiden ini menggambarkan lemahnya penegakan hukum, buruknya koordinasi, dan rendahnya profesionalisme aparat penegak hukum dalam menangani situasi darurat. 

Simak! Ini Jadwal dan Tema Debat Paslon di Pilkada Kota Batu

Penggunaan gas air mata oleh aparat di dalam stadion menjadi salah satu faktor utama yang memicu tragedi ini, meskipun aturan FIFA secara tegas melarang penggunaan gas air mata dalam acara olahraga. Pelanggaran ini tidak hanya menunjukkan kelalaian, tetapi juga kurangnya pemahaman aparat terhadap situasi dan regulasi internasional yang seharusnya menjadi acuan utama dalam pengelolaan keamanan acara olahraga.

Penggunaan gas air mata di tengah kerumunan yang padat dan dalam ruang tertutup seperti stadion hanya memperburuk situasi, menyebabkan kepanikan massal yang tidak terkendali. Akibatnya, 135 nyawa melayang, termasuk 38 anak di bawah umur, sementara ratusan lainnya mengalami luka-luka. Kejadian ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan bentuk kegagalan aparat dalam menjalankan tugasnya sebagai pelindung masyarakat.

Hadiri Indonesia Damai, Cak Nur-Mas Heli Tetap Rawat Ingatan Tragedi Kanjuruhan

Dalam konteks hukum, tindakan tersebut tidak dapat dianggap sebagai kelalaian semata. Aparat memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan keselamatan warga, tetapi kenyataannya mereka justru menjadi penyebab tragedi. Tindakan ini menunjukkan lemahnya kesadaran situasional dan minimnya profesionalisme dalam membaca dan menangani situasi darurat.

Proses hukum yang berjalan setelah tragedi ini juga menambah kekecewaan publik. Penetapan tersangka yang terbatas hanya pada segelintir aparat dan hukuman yang dijatuhkan dianggap terlalu ringan jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan. 

Arema FC dan Suporter Gelar Doa Bersama Korban Tragedi Kanjuruhan

Hukuman penjara yang rata-rata hanya berkisar antara satu hingga dua tahun bagi terdakwa tidak mencerminkan keadilan yang seharusnya ditegakkan. Hal ini menciptakan persepsi bahwa hukum di Indonesia masih cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas, di mana mereka yang memiliki kekuasaan sering kali luput dari tanggung jawab yang setimpal. Ketidakadilan ini semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan institusi penegak hukum.

Selain itu, tragedi ini juga memperlihatkan buruknya sistem pengamanan di Indonesia. Aparat yang seharusnya menjaga keamanan dan ketertiban justru menunjukkan ketidaksiapan mereka dalam menghadapi situasi darurat. 

Kekacauan yang terjadi menunjukkan lemahnya koordinasi antar pihak terkait, kurangnya pelatihan rutin, serta tidak adanya evaluasi menyeluruh terhadap prosedur operasional standar (SOP) yang diterapkan selama ini. 

Padahal, dalam menghadapi acara besar seperti pertandingan sepak bola, SOP yang jelas dan pelatihan intensif sangat diperlukan untuk memastikan keselamatan semua pihak yang terlibat. Namun, apa yang terjadi di Kanjuruhan adalah sebaliknya. Aparat terlihat gagap dalam menangani situasi, mengambil langkah-langkah fatal yang akhirnya memicu tragedi besar.

Penggunaan gas air mata dalam tragedi ini menjadi bukti nyata bahwa aparat tidak hanya gagal memahami regulasi internasional, tetapi juga lalai menjalankan tanggung jawab mereka terhadap keselamatan rakyat. 

Tindakan ini bukan hanya pelanggaran teknis, tetapi juga menunjukkan kebobrokan sistem keamanan yang ada. Pemerintah, khususnya institusi kepolisian, perlu melakukan introspeksi mendalam dan melakukan reformasi besar-besaran dalam penanganan keamanan di acara-acara massal. 

Reformasi ini harus mencakup pelatihan mendalam bagi aparat mengenai pengelolaan kerumunan sesuai standar internasional, terutama dalam situasi darurat. Selain itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap SOP yang selama ini diterapkan, sehingga tragedi serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan.

Tidak hanya itu, lembaga independen yang memantau kinerja aparat penegak hukum dalam kasus-kasus seperti ini juga menjadi kebutuhan mendesak. Lembaga ini harus memiliki otoritas yang cukup untuk memastikan proses hukum berjalan secara transparan, adil, dan bebas dari konflik kepentingan. 

Dengan adanya pengawasan yang ketat, diharapkan tidak ada lagi upaya untuk menghindari tanggung jawab, dan semua pihak yang terbukti melanggar aturan, tanpa terkecuali, harus dijatuhi hukuman yang setimpal. 

Penegakan hukum yang tegas dan adil bukan hanya memberikan keadilan bagi para korban dan keluarganya, tetapi juga menjadi langkah penting dalam membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum di Indonesia.

Tragedi Kanjuruhan tidak hanya menggambarkan kegagalan aparat dalam menjalankan tugasnya, tetapi juga mencerminkan buruknya sistem keamanan dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Pemerintah harus segera mengambil langkah nyata untuk memperbaiki situasi ini. 

Reformasi sistem pengamanan, peningkatan pelatihan aparat, pembaruan SOP, serta pembentukan lembaga pengawas independen adalah beberapa langkah penting yang harus dilakukan. Selain itu, penegakan hukum yang tegas terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab menjadi keharusan untuk memastikan tragedi seperti ini tidak akan terulang di masa depan.

Tragedi ini menjadi pelajaran pahit bahwa hukum dan tanggung jawab harus berjalan seiring. Aparat penegak hukum harus memahami bahwa tugas mereka adalah melindungi, bukan mencelakai masyarakat. Pemerintah dan institusi kepolisian memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dapat dipulihkan. 

Jika hukum terus dibiarkan lemah dan tidak adil, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem peradilan akan semakin memudar. Tragedi ini adalah pengingat keras bahwa reformasi hukum dan keamanan tidak bisa lagi ditunda. Keberanian untuk bertindak dan komitmen untuk berubah adalah kunci untuk mencegah tragedi serupa di masa depan dan memastikan keselamatan seluruh rakyat Indonesia.

Opini ini ditulis oleh Mahasiswa Semester 1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Galen Natafana Hasbullah. 

Opini ditulis untuk merampungkan tugas kuliah dari Kampus.