Humas Peradi Malang Raya : RUU Penyiaran Kebiri Kebebasan Pers

Humas Peradi Malang Raya, Suwito.
Sumber :
  • VIVA Malang / Galih Rakasiwi

Jika tidak sama saja pemerintah memperlihatkan kultur pemerintahan Indonesia yang anti-kritik, tidak berorientasi pada perbaikan, dan enggan berpikir. Selain itu, larangan terhadap penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian homoseksual biseksual dan transgender merupakan wujud diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+, yang dapat semakin mempersempit ruang-ruang berekspresi sehingga melanggengkan budaya non-inklusif dalam kerja-kerja jurnalistik. 

"Sama saja pemerintah menggunakan kekuasaannya secara eksesif melalui pasal-pasal pemberangus demokrasi berdalih perlindungan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik yang semakin dilegitimasi melalui RUU Penyiaran," katanya.

Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi bagi jurnalis maupun masyarakat pada umumnya, eksistensi pasal elastis ini justru semakin diperluas penggunaannya. Belum lagi dalam pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) pada draf revisi UU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers.

"Pasal tersebut sama saja menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik dengan mengalihkan penilaian menggunakan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standart Isi Siaran (SIS). Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers," ujarnya.