'birrul walidain' Kisah Perjodohan Nyai Munjidah Wahab dengan Mendiang KH Imam Asy'ari
- VIVA Malang (Elok Apriyanto/Jombang)
Jombang, VIVA – Sosok Mundjidah Wahab, bukanlah sosok yang asing di mata masyarakat umum, baik di Jombang, maupun di kalangan pejabat di tingkat regional Jawa Timur maupun kancah nasional.
Meski banyak yang mengetahui sepak terjang dan karir politiknya, mungkin banyak masyarakat yang belum mengetahui sisi romantika hubungan Mundjidah Wahab dengan sang suami yakni KH Imam Asy'ari Muhsin.
Perlu diketahui, bahwa Mundjidah Wahab muda membangun keluarga, menikah dengan KH Imam Asy'ari Muhsin, pada tanggal 22 Juli 1968 silam.
Kedua sejoli ini awalnya tidak saling mengenal sebelum pernikahan. Ia justru kenal lebih dulu dengan adik dari Imam Asy'ari, lantaran berada pada satu organisasi yang dinaungi Nahdatul Ulama (NU), yakni Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU).
Keduanya saling mengenal, sebab kala itu keduanya sama-sama menjabat sebagai Ketua IPPNU. Dimana Mundjidah menjadi ketua IPPNU Jombang, sedang calon adik iparnya menjadi ketua IPPNU Blitar.
KH Imam Asy'ari Muhsin sendiri merupakan anak dari Kiai Muhsin, santri kesayangan KH Hasyim Asy’ari, sekaligus mantan lurah Pondok Pesantren Tebuireng Kabupaten Jombang.
Setelah mondok di Tebuireng, Kiai Muhsin pulang ke Blitar, menjadi pengasuh pesantren, serta menjadi sosok penting berdirinya NU di Blitar.
Adapun Imam Asy’ari, sebelum menikah dengan Mundjidah, menghabiskan waktunya dengan belajar di Pondok Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah, yang diasuh oleh KH Maimoen Zuber.
Singkat cerita keduanya pun akhirnya dijodohkan, oleh masing-masing orang tuanya. Hingga akhirnya melalui perjodohan itu, keduanya menikah.
"Awalnya ya tidak kenal, kami dijodohkan. Pikiran kami waktu itu ya birrul walidain, manut dengan apa yang diminta orang tua. Waktu itu yakin bahwa pilihan orang tua adalah jodoh yang dipilihkan oleh Allah SWT," kata Mundjidah, saat ditemui di rumahnya, pada Minggu, 24 November 2024.
Lantaran berangkat dari latar belakang yang sama, Mundjidah dan Imam Asy’ari menjalani hari-hari sebagai suami istri dengan bahagia, hingga dikarunia 6 orang anak.
Selama menjalani kehidupan rumah tangga bersama Imam Asy’ari, Mundjidah mengaku mendapatkan perlakuan istimewa dari suaminya.
Oleh suaminya, Mundjidah diberi kebebasan untuk menjalankan aktivitas di luar rumah, termasuk berorganisasi.
Dalam hal mengurus keluarga, keduanya juga berbagi peran secara adil tanpa mengabaikan kewajiban masing-masing.
Mundjidah menuturkan, berkat keleluasaan yang diberikan suaminya, ia bisa tetap menjalankan aktivitasnya berorganisasi, serta melanjutkan studi hingga menyelesaikan studi sarjana muda.
"Suami mengizinkan saya untuk berkiprah dalam dunia politik, dari mulai menjadi anggota DPRD Jombang sejak tahun 1971, pengurus Partai NU, hingga pengurus PPP," ujarnya.
Tak ada angin, tak ada hujan, kabar duka tiba-tiba datang. Imam Asy’ari yang sebelumnya, sehat dan tidak merasakan keluhan gangguan kesehatan, wafat pada 31 Agustus 1996 pagi.
Hal itu menjadi pukulan telak bagi Mundjidah. Tanpa ada kata-kata yang keluar, saat mengetahui jika suaminya telah tiada. Hanya cucuran air mata yang deras mengalir.
Namun, ditinggal sang suami tidak menjadikan Mundjidah terlarut dalam kesedihan. Jiwanya kembali tegar. Tekadnya kembali menguat demi masa depan anak-anaknya. Munjidah menjadi Bupati Jombang periode 2018-2023.
Sepeninggal sang suami, Mundjidah memegang peran ganda, sebagai ibu sekaligus kepala rumah tangga. Dia pun tak terfikir untuk menikah lagi, meski saat itu, usianya masih terbilang cukup.
"Tidak ada pikiran seperti itu (menikah lagi). Waktu itu sudah sibuk ngurusi organisasi, menjadi dewan (DPRD Provinsi Jatim) dan ngurusi anak-anak. Jadi ya gak ada pikiran semacam itu. Alhamdulillah, tetap setia kepada ayahnya anak-anak," tutur Mundjidah.