Asosiasi Desa di Kota Batu Gelar Haul Mbah Mbatu, Begini Tujuannya
- Viva Malang/Galih Rakasiwi
Berdasarkan kisah sejarah, sosok Mbah Wastu diceritakan sebagai Pangeran Rohjoyo atau Syekh Abul Ghonaim yang juga dikenal dengan nama Kiai Gubuk Angin. Nama itu dipakai untuk menyamarkan diri dari kejaran tentara Belanda.
Pangeran Rohjoyo sendiri pernah menjadi murid Pangeran Diponegoro saat dalam pelarian dikejar tentara Belanda. Selama masa pelarian itu, dia mendirikan padepokan sebagai tempat tinggal dan menyebarkan Islam. Pangeran Rohjoyo meninggal pada tahun 1830 di tempat itu.
Tokoh lain yang dimakamkan di sana adalah Dewi Condro Asmoro yang dikenal dengan Mbah Tu (Mbah Tuwo). Dia adalah istri dari Pangeran Rohjoyo, salah satu keturunan Kerajaan Majapahit, putri Prabu Suito Kerto dan Dewi Anjasmoro.
Disebutkan, Mbah Tu dikenal sebagai tokoh syiar Islam hingga akhir hayatnya di Kota Batu pada 1781. Konon dia meninggal saat melantunkan lafadz pujian miftakhul jannah. Sebab itulah keduanya menjadi tokoh legendaris di Kota Batu.
Selain itu ada juga Dewi Mutmainah dan Kyai Naim. Dewi Mutmainah adalah istri muda Pangeran Rojoyo. Putri dari Syekh Maulana Muhammad, putra Sunan Gunung Jati.
Sedangkan Kyai Naim adalah salah seorang teman seperjuangan Pangeran Rojoyo yang berasal dari Mataram. Namun saat datang di Batu, dia disuruh Pangeran Rojoyo untuk menetap dan membantu menyebarkan Islam di sana. Hingga kemudian saat berencana pulang kembali ke Mataram, Kiai Naim terjatuh dari kuda dan meninggal dunia. Jasadnya dikebumikan di tempat itu juga.