Belajar Dari Tragedi Kanjuruhan Jurnalis Ikut Latihan Kegawatdaruratan
- Viva Malang
Malang – Tragedi Kanjuruhan pada Sabtu, 1 Oktober 2022 menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, termasuk jurnalis. Saat itu 135 orang meninggal dunia karena gagal mendapatkan pelayanan medis pertama di stadion. Jumlah tenaga medis saat itu sangat tidak memadahi ketimbang ratusan korban gas air mata.
Puluhan jurnalis yang saat itu bertugas dalam peliputan. Mendadak menjadi tenaga medis. Mereka memberikan pertolongan pertama pada Aremania yang terluka. Mayoritas suporter saat itu mengalami sesak nafas dan pingsan akibat gas air mata dan terdesak-desak.
Belajar dari peristiwa itu, jurnalis dituntut mengetahui teknik dasar pertolongan pertama ketika terjadi kegawatdaruratan, misal ada orang tidak sadarkan diri karena serangan jantung. Pengetahuan ini cukup penting dikuasai karena terkadang jurnalis berada di tempat yang rawan konflik.
Ketua PWI Malang Raya, Cahyono mengatakan, jurnalis perlu memiliki kemampuan memberikan pertolongan pertama. Pertama harus mempersiapkan mental terutama di lokasi rawan. Bukan sekadar cara menolong, tapi juga bagaimana memperhitungkan kondisi di sekitar.
"Prinsipnya yang mau menyelamatkan harus selamat dulu. Jadi jangan sampai memberikan pertolongan di tempat yang tidak aman. Penolong harus perhatikan kondisi sekitar dulu jika ingin melakukan tindakan," kata Cahyono, Sabtu, 3 Desember 2022.
Belasan jurnalis di Malang Raya pelatihan teknik dasar pertolongan pertama di Rumah Sakit Lavalette, Kota Malang, Jumat, 2 Desember 2022. Indonesia Health Corporation (IHC) Rumah Sakit (RS) Lavalette bersama PWI Malang Raya mengedukasi belasan jurnalis untuk mengetahui teknik dasar tersebut.
"Kegiatan ini sangat penting dan sebagai bekal di lapangan, ketika terjadi kondisi darurat medis, atau dalam kondisi kegawatdaruratan," ujar Cahyono.
Direktur IHC RS Lavalette, Mariani Indahri berharap hasil pelatihan pertolongan pertama untuk wartawan diterapkan ketika berada dalam kondisi gawat darurat. Teknik pertolongan itu untuk penanganan pasien yang membutuhkan penanganan medis dini seperti pada kasus henti jantung. Sebab, profesi wartawan ini bersinggungan dengan kegawatdaruratan.
"Teknik pertolongan pertama ini perlu dipelajari karena tidak menutup kemungkinan terjadi di mana saja. Lavalette berkomitmen akan terus suport layanan kesehatan lainya, yang merupakan langkah preventif dan terlatih menanggulangi kegawatdaruratan," tutur Mariani.
Sementara itu, pemateri pelatihan dr Novita Apramadha, memperkenalkan istilah time saving is life saving. Istilah itu merujuk pada makna semakin cepat waktu merespon kejadian gawat darurat, semakin besar kesempatan untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Salah satu teknik yang cukup umum ialah kompresi dan dekompresi. Kompresi adalah memberikan tekanan di dada pasien. Kompresi dada diberikan dengan syarat dilakukan secara benar, yakni kedalaman tekanan sekitar 5 centimeter. Ritmenya 100 sampai 120 kali per menit, tanpa interupsi. Sementara dekompresi adalah melepaskan tekanan pada dada pasien. Ritmenya sama dengan kompresi, pun tanpa interupsi.
"Kekurangan oksigen antara 3 sampai 8 menit akan mempengaruhi otak. Tindakan cepat yang tepat bisa menyelamatkan itu. Kompresi dilakukan dengn harapan darah yang tersisa dan mengandung oksigen bisa terbantu ke otak. Sedangkan dekompresi dihatapkan darah mengisi area jantung," kata Novita.