Merefleksikan Jiwa Seni Sang Proklamator

Guru Besar Fakultas Sastra UM Prof Djoko Saryono
Sumber :
  • Viva Malang

Malang – Siapa sangka sosok Bung Karno memiliki jiwa seni yang tinggi. Selama menjalani masa pengasingan di Bengkulu pada 1938 hingga 1942, Sang Proklamator itu berkecimpung di dunia sandiwara atau teater jenis tunel bernama Monte Carlo.

LSP Paresta Go Nasional, Targetkan Sertifikasi Ribuan Pekerja Wisata

Ia pernah sukses sebagai penulis naskah, sutradara, manajer, dan sekaligus produser dari kelompok sandiwara itu. Hal itu sempat menjadi bahan perbincangan dalam diskusi budaya oleh para pemuda di Kota Malang pada Rabu 24 Agustus 2022 malam kemarin.  

Salah satu pembicara yakni Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Prof Dr Djoko Saryono MPd. Djoko mengatakan kepandaian Soekarno dalam menulis naskah tidak terlepas dari pendidikan tinggi yang didapatkan kala itu. 

Awas Begal Payudara Hantui Kota Batu

"Para perintis kemerdekaan Indonesia hampir rata-rata pada zamannya menikmati pendidikan, seperti Soekarno, Moh Hatta, di kala saat itu mungkin angka buta huruf di Indonesia sebesar 80 persen," kata Djoko dalam paparan diskusi tersebut. 

Perlu diketahui, terdapat sejumlah naskah yang ditulis dan dipentaskan Bung Karno bersama Monte Carlo. Namun, hanya empat naskah yang tersisa dengan bedrijf atau babak yang masih lengkap. 

CJH di Jombang Ikuti Manasik Masal, 1 Jemaah Gagal Berangkat Karena Wafat

Empat naskah tersebut yakni berjudul Dr. Sjaitan, Chungking Djakarta, Koetkoetbi, dan Rainbow (Poeteri Kentjana Boelan). Naskah sandiwara yang ditulis dan dipentaskan Bung Karno sarat dengan pesan dan semangat nasionalisme dan patriotisme.

"Selera seni Soekarno sangat tinggi, tidak semua memiliki sesuatu seperti Soekarno, artinya ada sentuhan pendidikan seni yang didapat oleh generasi awal kita, Soekarno itu kalau menulis surat ke temannya itu panjang dan runtut," ujarnya.  

Semangat nasionalisme dan wawasan kebangsaan yang dibangun oleh Bung Karno terbaca jelas dalam naskah berjudul Chungking Djakarta yang menggambarkan semangat kesadaran nasionalisme bangsa Asia melawan bangsa kolonial.

Sedangkan semasa pengasingan di Ende kurun waktu 1934 hingga 1938, Bung Karno membentuk kelompok sandiwara yang diberi nama "Kelimutu" dan menulis 12 naskah sandiwara.

Dalam hal penulisan naskah, Bung Karno rupanya tidak mau asal-asalan. Ia berusaha mempelajari berbagai macam cabang ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah dan sastra - bahasa.

Referensi pengetahuan serta wawasan kebangsaan Bung Karno yang sangat luas menjadi entitas yang tak terpisahkan dalam implementasi proses gagasan atau ide kreatifnya.

Tanpa hal tersebut, akan sulit bagi seorang Bung Karno dalam menciptakan ide-ide kreatif, seperti menginterpretasi film Franskenstein yang amat populer pada saat itu menjadi lakon Dr. Sjaitan dan Koetkoetbi.

Dalam naskah Rainbow, Bung Karno juga terlihat amat cerdas menggiring alur cerita berbau roman sejarah yang penuh semangat patriotik, meskipun dalam cerita tokoh sentral yang romantis berakhir dengan tragis atau 'romantis membawa tragis'.

Salah satu pemuda Relawan Perjuangan Demokrasi Kota Malang, Dimas Septino mengatakan adanya diskusi tersebut juga dalam rangka menuju pementasan teater dari naskah Chungking Djakarta pada 30 Agustus mendatang di Gedung Kesenian Gajayana.

"Kita pilih Chungking Djakarta karena unik saat itu dipentaskan ketika menjadi tahanan di Bengkulu," tuturnya. 

Nantinya dalam teater tersebut akan diperankan oleh beberapa kelompok teater. Pihaknya akan menyajikan ulang pementasan secara utuh.

"Seperti bagaimana Bung Karno pada saat dahulu mementaskan, tujuannya merawat pikiran bung karno, kalau buku politiknya banyak dibaca, tapi yang seni belum banyak diketahui," katanya.