Koalisi Masyarakat Sipil Beberkan Sederet Kejanggalan Sidang Tragedi Kanjuruhan

Koalisi Masyarakat Sipil kawal sidang Tragedi Kanjuruhan
Sumber :
  • Viva Malang

Malang – Koalisi Masyarakat Sipil memaparkan sejumlah catatan kejanggalan selama proses persidangan Tragedi Kanjuruhan di Pengadilan Negeri Surabaya. Kejanggalan ini ditemukan selama mereka memantau persidangan sejak 20 Januari 2023 hingga 23 Februari 2023. 

Nekat Jual Sabu-sabu, Tukang Las Dibekuk Polisi

Tim pemantauan terdiri dari, LBH pos Malang, LPBH-NU Kota Malang, KontraS, dan LBH Surabaya. Tim melakukan pemantauan terhadap jalannya proses persidangan terhadap lima terdakwa antara lain, AKP Hasdarmawan, Kompol Wahyu Setyo Pranoto, AKP Bambang Sidik Ahmadi, Abdul Haris, dan Suko Sutrisno. 

"Penetapan kelima terdakwa ini menurut pandangan kami sangat janggal karena tidak ada satupun anggota kepolisian yang secara langsungan melakukan penembakan gas air mata yang menyebabkan tragedi meninggalnya ratusan orang turut menjadi tersangka atau terdakwa," kata Koordinator LBH Malang Daniel Siagian, Senin, 27 Februari 2023.

DPP PPP dan PKB Beri Sinyal Koalisi pada Pilkada, di Jombang Belum Ada Gambaran

Setidaknya ada beberapa fakta kejanggalan secara umum yang mereka temukan antara lain. Dibatasinya media massa dalam melakukan siaran langsung atau live streaming selama proses persidangan berjalan. 

"Kami menilai hal tersebut merupakan tindak pembatasan atas kebebasan pers dan hak publik dalam melakukan pemantauan persidangan proses Kanjuruhan. Mengingat ketentuan acara lidana menegaskan bahwa persidangan terbuka untuk umum," ujar Daniel. 

Keren! 2 Pelajar MAN 1 Jombang Sabet Juara Pertama Lomba Robotik Tingkat Jawa Timur

Kejanggalan lainnya, dialihkannya proses peradilan ke Pengadilan Negeri Surabaya, padahal lokus wilayah hukum peristiwa berada di Kabupaten Malang. 

"Diterimanya perwira aktif anggota kepolisian (Bidkum Polda Jawa Timur) sebagai penasihat hukum tiga terdakwa Kepolisian yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Hal tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan bertetangan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 tentang Polri," tutur Daniel. 

Kejanggalan berikutnya, puluhan saksi-saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) dan penasihat hukum Terdakwa banyak berasal dari institusi kepolisian baik di jajaran Polres Malang sampai jajaran Polda Jawa Timur. 

"Sangat minimnya keterlibatan keluarga korban, Korban dan saksi mata sebagai saksi dalam persidangan. Diantara puluhan saksi yang diperiksa, hanya satu keluarga korban (DA) yang dihadirkan dalam persidangan," kata Daniel. 

 

Mereka juga menilai perilaku Hakim cenderung pasif dalam menggali kebenaran materiil dari pernyataan saksi dalam pembuktian. Sedangkan dalam ketentuan Acara Pidana dan Undang-Undang kekuasaan kehakiman mensyaratkan bahwa hakim harus menguji dan menggali kebenaran materiil dalam perkara yang menyebabkan meninggalnya 135 nyawa dan ratusan korban lainnya luka-luka baik berat maupun ringan. 

"Sikap perilaku jaksa penuntut umum yang cenderung pasif dalam menggali dan menguji kebenaran materiil dalam pemeriksaan saksi di persidangan. Contohnya, pada saat saksi yang berasal dari keluarga korban (DA), JPU hanya menanyakan hasil otopsi kedua anak (NDR dan (NR) keluarga korban. Namun tidak berusaha menggali penyebab dari Kematian korban," ujar Daniel. 

"Tindakan Jaksa Penuntut Umum yang tidak mendalami untuk menanyakan dan menggali secara detail mengenai kausalitas matinya salah satu keluarga korban (DA). Pada faktanya pemeriksaan tersebut tidak lebih dari 30 menit dan pertanyaan JPU hanya mengkonfirmasi soal hasil autopsi salah satu korban," tambahnya.