Meramu Motif Ikonik Kota, Gigih Berdayakan Kaum Muda
- SATU Indonesia Award
Di tahun 2015, ia bertemu dengan Aliya, gadis berusia 9 tahun yang tertarik mempelajari cara membatik. Sejak itu, Anjani memilih melatih anak-anak menjadi pembatik di sanggar. Anjani dengan senang hati membagi ilmu di sanggar dan galeri batik Andaka.
Selanjutnya, muncul anak-anak lain yang juga ingin belajar membatik. Lama kelamaan ada lebih dari 58 anak yang belajar membatik di sanggarnya. Sebanyak 28 anak di antaranya menjadi pembatik aktif.
Setiap bulan, Sanggar Andana menghasilkan 45 lembar kain batik. Setiap lembar dijual Rp300 ribu-750 ribu. Dengan begitu, selain melestarikan batik banteng agung, ia juga memberikan keuntungan ekonomi kepada para pembatik muda.
Dari setiap kain yang terjual, Anjani hanya mengambil 10 persen. Uang itu digunakannya untuk membeli kain, pewarna, dan perlengkapan lain. Selebihnya menjadi hak para pembatik anak-anak. Tak jarang, Anjani menguras gajinya sebagai guru honorer di SMPN I Batu yang tak seberapa untuk menambal berbagai biaya sanggarnya.
Penobatan sebagai batik khas Batu tidak serta merta mengangkat derajat Batik Bantengan. Memasyarakatkan motif baru tidak sesederhana menggelar pameran. Alih-alih glamor, perjuangan Batik Bantengan Anjani Sekar Arum berjalan di tingkat akar rumput.
“Mempertahankan motif ini, menguatkan motif ini menjadi motif khas Batu, memang susah, Bertentangan dengan politik, dengan banyak hal. Mau tidak mau kita harus ‘perang’ dengan itu.” ujar dia.
Sejak 2017 Anjani bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Batu untuk memasyarakatkan Batik Bantengan. Dinas Pendidikan membagikan secara cuma-cuma peralatan membatik - yang harganya tidak murah kepada sekolah-sekolah berakreditasi A di Kota Batu sementara Anjani menyediakan para pebatik muda di sanggarnya untuk menjadi pengajar ekstrakurikuler membatik di sekolah-sekolah terpilih.