Ada Kejanggalan Eksekusi Rumah Oleh PN Malang Di Jalan Muria
- Viva Malang
Malang – Pengadilan Negeri Malang melakukan eksekusi rumah di Jalan Muria, Kota Malang. Belatrix Marylion salah satu ahli waris menuding eksekusi ini dilakukan tidak sesuai prosedur karena ada sederet kejanggalan proses hukum.
Jhon Nada, kuasa hukum Belatrix Marylion mengatakan, bahwa ahli waris atau klienya tidak pernah tahu perihal eksekusi ini. Sementara untuk rumah ini sesuai dokumen ada empat orang ahli waris sah yakni Barbalina Maria Pattiwaellapia, Cristhorion Seoula, Belatrix Marylion dan Alnilam Rosina Matelda.
Kejanggalan yang disebut John adalah kemunculan akta jual beli. Sementara ahli waris sah mengaku tidak pernah membubuhkan tandatangan untuk proses jual beli aset. Mereka menuding ada manipulasi surat keterangan hak waris sehingga bisa muncul akta jual beli tersebut.
"Dasar yang digunakan untuk menerbitkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) itu hanya tandatangan dua ahli waris saja. Ini yang di pengadilan nanti akan terbukti siapa yang membuat karena notaris bersikukuh kalau ia menerima surat keterangan hak waris itu untuk dua orang saja. Nanti kami adu. Yang menjadi sumber masalah itu di situ. Jelas itu ada manipulasi. Itu kan juga keterangan palsu. Berarti ada kejahatan," kata Jhon, Jumat 20 Januari 2023.
Adapun kronologis dugaan manipulasi surat ahli waris bermula dari Barbalina Maria P orangtua dari Belatrix butuh pinjaman uang Rp350 juta. Oleh seorang notaris dari Kota Malang, Maria dipertemukan dengan seseorang bernama Biyanto. Singkatnya, Biyanto mentransfer Rp340 juta ke Maria sebagai uang pinjaman.
"Waktu itu memang tandatangan perjanjian hutang, tapi tidak diberikan aktanya. Orang kalau sedang butuh kan gelap, karena waktu itu suaminya, Hari Wijaya, baru meninggal dunia. Terus pada April 2019, Maria minta akta. Lalu keluar akta PPJB. Kemudian diminta tandatangan juga anaknya yang paling kecil, beruia 19 tahun, karena ini barang waris peninggalan Hari Wijaya," ujar Jhon.
Kejanggalan selanjutnya, dokumen yang seharusnya perjanjian hutang, justru menjadi dokumen pengikatan jual beli. Anehnya, menurut Jhon, seharusnya yang bertandatangan adalah 4 ahli waris. Ternyata hanya dua ahli waris pertama ibunya, satu lagi anak yang masih berusia 19 tahun.
"Penandatanganan dilakukan tanpa ada penjelasan rinci tentang dokumen yang dibuat," tutur Jhon.
Jhon mengungkapkan, bahwa cicilan pelunasan hutang awalnya berjalan lancar awalnya. Tetapi mulai ada kendala saat pandemi COVID-19 pada 2020 lalu yang mengakibatkan cicilan tersendat. Setelah itu, sertifikat berganti nama Biyanto. Sertifikat kemudian dijaminkan ke sebuah BPR di Kepanjen, Kabupaten Malang.
"Kami tidak tahu jumlahnya berapa, tapi waktu lelang nilainya Rp1,6 M. Permasalahannya satu, perpindahan hak dari Hari Wijaya ke Biyanto ini cacat hukum. Itu yang menjadi masalah. Kami menilai karena perjanjian ini cacat hukum, maka kami membuat gugatan," tuturnya.
Membuat keluarga semakin kecewa gugatan yang mereka layangkan di Pengadilan sebulan lalu baru menjalani dua persidangan dan belum mendapatkan keputusan yang inkrah. Justru datang surat pemberitahuan rencana eksekusi.
"Saya mengajukan perlawanan. Gugatan kami layangkan Senin pekan ini. Ada dua gugatan, pertama perbuatan melawan hukum dan satunya perlawanan. Perlawanan itu sah karena ada perkara yang belum selesai. Seharusnya eksekusi itu ditunda karena belum ada putusan. Seharusnya diperiksa dulu perlawanan ini," kata John.
Jhon mengklaim nilai obyek rumah ditaksir Rp5,3 miliar namun dilelang dengan harga Rp1,6 miliar. Janggalnya, pemenang sekaligus pengaju lelang adalah BPR.
"Kami ingin ada keadilan. Ahli waris, klien saya, tidak mengerti apa-apa. Sederhananya, hutang Rp350 juta, dengan harga rumah Rp5,3 M seharusnya bisa terbayar. Ini kan mestinya, setidak-tidaknya ada kembalian ke ahli waris yang sah. Karena pemenang lelang itu juga mereka, akhirnya timbul pertanyaan, bagaimana mungkin harga Rp5,3 miliar dilelang menjadi Rp1,6 miliar?," ujarnya.
Jhon menuding kliennya korban dari komplotan atau sindikat. Sebab, Biyanto saat ini sedang di tahanan Polresta Malang Kota karena kasus serupa.
"Saya melihat ini ada sindikat. Mereka pemain. Biyanto sudah masuk di Polresta Malang Kota dengan kasus dan pola yang sama. Ini seperti komplotan dan saya yakin. Ada tiga perkara sejenis di saya yang melibatkan Biyanto semuanya," tuturnya.
Sementara itu, Panitera Pengadilan Negeri Malang, Rudy Hartono mengatakan jika eksekusi rumah di Jalan Muria merujuk psda surat perkara nomor 27/pdt Eks/2022/PN Malang tertanggal 27 November 2022. Dalam surat itu pemenang lelang memohon agar eksekusi dilakukan.
"Eksekusi berdasarkan hasil lelang karena pembeli lelang belum bisa menguasai obyek yang dimenangkan. Pemenang lelang melalui kuasa hukum telah mengajukan permohonan eksekusi ke PN Malang," kata Rudy.
Sebelum eksekusi dilakukan, PN Malang mengklaim telah melakukan banyak kajian dan telaah. Diantaranta proses permohonan teguran atau aanmaning. Pihak yang kalah telah diberikan jangka waktu delapan hari untuk melaksanakan isi putusan.
"Karena obyek tidak dikosongkan, padahal sudah dilakukan konstatering, maka sesuai perintah dari pimpinan PN Malang, kami laksanakan eksekusi," ujar Rudy.