Bikin Buku Pegangan Karena Pendidikan Inklusi di Indonesia Belum Sepenuh Hati
- Istimewa
Malang – Pelaksanaan pendidikan terpadu di Indonesia dilakukan sejak 1980 namun dianggap kurang berkembang. Pada tahun 2000 kembali dikembangkan dengan menggunakan konsep pendidikan inklusif. Komitmen ini diformalkan melalui konvensi nasional pada 2004 yang menghasilkan Deklarasi Bandung.
“Namun, pendidikan inklusi yang dilaksanakan di Indonesia saat ini belum sepenuh hati,” ujar Setia Adi Purwanta, ahli pengembangan kebijakan disabilitas, saat dijumpai di Universitas Negeri Malang (UM) beberapa waktu lalu.
Namun, ada kecenderungan orang disabilitas memunculkan stigma negatif dan rasa kasihan. Untuk itu, cara pandang masyarakat mengenai disabilitas perlu diubah, termasuk pada diri guru, orang tua anak disabilitas, dan pembuat kebijakan.
“Itu justru menghambat orang disabilitas menjadi bagian dari masyarakat seutuhnya. Cara pandang tentang disabilitas semestinya didasarkan pada hak asasi manusia,” ujar Setia yang juga orang dengan gangguan penglihatan ini.
Sekolah dan kurikulum harus bisa menerima perbedaan sebagai hal yang normal atau biasa. Bukan karena adanya perbedaan, lantas harus menjadi bagian yang ekslusif.
Tentu bukanlah hal mudah untuk mengubah mindset tersebut. Apalagi ketika berbicara mengenai pendidikan umum, posisi orang disabilitas masih disempitkan. Bagaimana metode pembelajaran, persoalan kognitif dan sisi intelektual di sekolah belum berwawasan kesetaraan bagi orang disabilitas.
Pengalaman pribadi Setia dituangkan dalam dua buku pegangan inklusi baru. Yakni, Buku Pegangan (Bacaan) Pendidikan Inklusif untuk guru berjudul “Nuraga Sang Guru: Sebuah Kisah Kebhinekaan dalam Pendidikan Inklusif” dan untuk orang tua berjudul “Menumbuh dan Membumi: Anakku, Anakmu, Anak Ibu Pertiwi”.
Dalam buku ini, Setia tidak sendiri. 2 buku ini disusun bersama Ahsan Romadlon Junaidi, Pamitkasih, Galuh Sukmara, Diah Kartika Estie, Susanti Mayangsari dan Rosi Ponk Kristian. Mereka adalah guru, orang tua, ahli, dan penerjemah yang bersentuhan langsung dengan pendidikan inklusi. Buku dibuat dalam bentuk digital dan bisa diunduh secara gratis dan bersifat seperti ‘teman diskusi’.
Selain itu, Sekitar 200 ilustrasi karya seniman asal Yogyakarta, Alim Bakhtiar juga ambil bagian dalam mengisi lembar-lembar buku. Sebagian ilustrasi menampilkan seorang anak berbicara dalam bahasa isyarat.
Ide itu muncul dari Galuh Sukma Soejanto, penulis buku yang juga orang tuli. Dia ingin supaya anak-anak sejak dini tahu bahwa ada orang disabilitas di lingkungan hidupnya. Sejauh ini, gambar anak memakai kursi roda atau memakai tongkat putih orang netra hampir tidak pernah terlihat di buku-buku pelajaran sekolah.
“Gagasan awal dibuatnya buku ini karena ingin menghadirkan representasi keberagaman dalam pendidikan inklusi,” tutur Dosen Departemen Pendidikan Luar Biasa dan Kaprodi S2 Pendidikan Khusus Universitas Negeri Malang (UM), Ahsan Romadlon Junaidi.
Pembuatan kedua buku ini merupakan hasil kerja sama antara Program Kemitraan Indonesia dan Pemerintah Australia melalui Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) dalam rangka mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia.
Kontennya juga mendukung program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Agama untuk mengembangkan pendidikan inklusi di lingkungannya.
Peluncuran buku dilangsungkan seiring dengan acara Pameran dan Bedah Buku Pegangan (Bacaan) Pendidikan Inklusif, di Aula Gedung Kuliah Bersama A20 UM pada Kamis, 11 Mei 2023. Secara simbolis, Mark Heyward menyerahkan kedua buku kepada Rektor UM, Prof Dr Hariyono MPd.