Pameran Tunggal 'Tamasya' Karya Totarist Sosial Merbawani di Kota Batu
- VIVA Malang / Galih Rakasiwi
Melalui karya-karya ini, Totarist mengajak penonton untuk merenungkan makna pelestarian budaya di tengah modernisasi.
"Saya ingin karya-karya ini mengundang penonton untuk merenungkan bagaimana kita menjaga keseimbangan antara pembangunan modern dan pelestarian nilai-nilai tradisi," ujarnya.
Bangunan bersejarah yang dilukiskan oleh Totarist dipadukan dengan lanskap Nusantara dan garis-garis perspektif imajiner yang menyilang, menciptakan dialog dengan situasi hari ini. Elemen ini merepresentasikan berbagai sudut pandang dalam memahami dan merawat warisan budaya, sembari memprovokasi pemikiran tentang ambiguitas pelestarian di tengah arus pembangunan.
Sementara itu, Kurator pameran, Rain Rosidi menyampaikan bahwa Tamasya mempersembahkan eksplorasi kritis terhadap lanskap dan arsitektur bersejarah Nusantara.
"Totarist, yang lahir di desa dengan keterbatasan, justru membentuk pandangan tajam terhadap ruang dan keseimbangan antara pelestarian dan perubahan," katanya.
Totarist mengawali kariernya dengan memperdalam teknik realisme di Pasar Seni Ancol pada awal 2000-an, terinspirasi oleh seniman seperti Sapto Soegijo dan Ahmad Nazilly. Interaksi dengan komunitas seni Yogyakarta juga memengaruhi gagasan artistiknya.
Melalui Tamasya, Totarist tidak hanya merepresentasikan keindahan, tetapi juga mengkritisi pelestarian bangunan bersejarah yang sering diwarnai oleh tumpang tindih kepentingan komersial dan politis.