Ironi Apel Khas Kota Batu Lambat Laun Semakin Sirna
- Istimewa/Gendut
"Walaupun petani yang sudah tergabung di kelompok tani dan punya kartu tetap saja cari pupuk subsidi cukup sulit. Kami terpaksa beli yang bukan subsidi meski harga tiga kali lebih mahal. Itu penyebab kerugian kami," ujarnya.
Kemudian untuk produksi dari pohon apel yang dimiliki petani juga mengalami kemerosotan, pasalnya sudah berusia 40 hingga 50 tahun. Dulu saat jaya-jayanya di era 1990-an Sudarmawan bisa memanen lima ton sekarang hanya tiga kuintal dengan harga jual Rp5 ribu hingga Rp6 ribu tiap kilogramnya.
"Nah untuk menyambung hidup dan menekan biaya kerugian saya kini menanam sayur di bawah pohon-pohon apel. Lalu mencari aktivitas lainnya seperti beternak kambing," tuturnya.
Sekarang Sudarmawan bersama para petani lain hanya bisa pasrah, mereka berharap pemerintah memberikan kepedulian lebih untuk mempertahankan ikon Kota Batu.
"Semoga ada perhatian lebih dari pemerintah demi mempertahankan buah apel khas Kota Batu," katanya.