Ini Daftar Lima Desa Teratas yang Menjadi Lokus Stunting di Jombang

Kepala DPPKB PPPA Jombang, dr Pudji Umbaran.
Sumber :
  • VIVA Malang (Elok Apriyanto/Jombang)

Jombang, VIVA – Angka kasus stunting di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, masih tergolong tinggi. Hal ini menjadi perhatian khusus dari pemerintah kabupaten setempat.

Berdasarkan catatan data dari Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKB PPPA), Kabupaten Jombang, terdapat 5 Desa teratas yang memiliki jumlah kasus tertinggi stunting.

Jumlah tersebut, masuk dalam daftar 20 Desa yang dinyatakan sebagai lokus stunting karena memiliki kasus stunting yang tinggi. Dalam satu desa, jumlah kasus stunting bahkan mencapai lebih dari 80 balita

Kepala DPPKB PPPA Jombang, dr Pudji Umbaran menjelaskan, ada 20 lokus stunting yang dinyatakan dalam surat keputusan bupati Nomor 188.4.45/79/415.10.1.3/2024 tentang lokus prioritas percepaan penurunan stunting terintegrasi di Kabupaten Jombang.

"Desa yang jadi lokus stunting memiliki kasus balita stunting diatas 30. Yaitu Rejoagung Ngoro yang paling banyak dengan 84 balita stunting dan 341 keluarga berisiko stunting," katanya, Jumat, 8 November 2024.

Selain itu, lanjut Pudji, Desa Watugaluh Kecamatan Diwek dengan 48 kasus stunting. Desa Madiopuro Kecamatan Sumobito 46 kasus, Desa Kedunglumpang Kecamatan Mojoagung 45 kasus

"Lalu Desa Mojokrapak, Kecamatan Tembelang 43 kasus, Desa Losari Kecamatan Ploso 43 kasus, Desa Sebani Kecamatan Sumobito 42 kasus, Desa Keras, Kecamatan Diwek 42 kasus," ujarnya .

Tak hanya itu, ada juga Desa Segodorejo, Kecamatan Sumobito dan Desa Dukuhmojo, Kecamatan Mojoagung yang masing-masing terdapat 41 kasus. 

"Kemudian ada Desa Tanggalrejo, Kecamatan Mojoagung 39 kasus. Desa Curahmalang, Kecamatan Sumobito, Desa Ploso, Kecamatan Ploso, Desa Gedongombo Kecamatan Ploso masing-masing 37 kasus," tuturnya.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ada juga Desa Pandanwangi, Kecamatan Diwek 35 kasus, kemudian Desa Wonosalam, Kecamatan Wonosalam 34 kasus.

"Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang 34 kasus, Desa Sumobito, Kecamatan Sumobito 32 kasus, Desa Purisemanding dan Desa Tondowulan Kecamatan Plandaan masing-masing 32 kasus," katanya.

Selain itu, mantan direktur RSUD Jombang ini mengatakan bahwa tidak hanya kasus balita stunting, namun keluarga berisiko stunting juga tinggi.

"Tidak hanya jumlah balita stunting yang tinggi, keluarga berisiko stunting juga tinggi, jumlahnya bervariasi, ada yang 70 keluarga, ada yang mencapai lebih dari 400 keluarga," ujarnya.

Ia menyebut berdasarkan hasil analisa yang dilakukannya, rata-rata balita mengalami stunting pada rentang usia 6 bulan sampai 1,5 tahun, atau pasca masa-masa pemberian MPASI (Makanan pendamping air susu ibu). 

Ia menyebut seharusnya untuk meja lima atau meja konseling di posyandu tidak boleh dilewatkan. 

"Padahal harusnya, pada saat penimbangan, jika balita tidak mengalami kenaikan berat badan, atau justru mengalami penurunan berat badan, kader harus memberikan konseling kepada ibu," tuturnya.

"Kami minta kader untuk membuat atau memberikan video singkat, tentang bagaimana cara memberikan MPASI yang tepat," kata Pudji.

Ia menegaskan bahwa orang tua yang balitanya stunting tidak efeltif jika harus mengandalkan bantuan dari pemerintah saja.

"Kalau mengandalkan bantuan, beban pemerintah akan sangat berat, sehingga yang paling penting adalah memberikan pemahaman kepada seluruh ibu balita dan baduta, untuk memberikan ketercukupan gizi. Tetap memberikan ASI dan MPASI yang tepat," ujarnya.

Ini dikarenakan, tidak semua orang tua yang balitanya stunting adalah balita dari keluarga ekonomi menengah kebawah. Bahkan setengah dari kasus yang terjadi adalah berasal dari keluarga mampu.

"Yang biasanya orang tuanya berkarir, balita dititipkan kepada nenek, atau pengasuh-pengasuh lain yang tidak memiliki pengetahuan cukup untuk pengasuhan tepat," tuturnya.