Meramu Motif Ikonik Kota, Gigih Berdayakan Kaum Muda
- SATU Indonesia Award
Batu, VIVA – Lembaran kain batik tertata rapi di setiap sudut studio di Dusun Binangun Desa Bumiaji Kecamatan Bumiaji Kota Batu. Di antaranya tampak sentuhan unik motif dari gabungan penggambaran budaya Bantengan. Kesenian yang erat dengan simbol kekuatan itu menjelma menjadi karya kriya busana yang cantik.
Ialah Anjani Sekar Arum, wanita dengan dedikasi tinggi pada warisan budaya di balik terciptanya Batik Banteng Agung yang ikonik khas Kota Batu. Tak hanya mendesain dan membuat batik, Anjani, begitu ia disapa, melakukan banyak gebrakan untuk pelestarian budaya.
Dengan kegigihannya, seni membatik ditularkan kepada generasi muda. Bagi Anjani, Batik Bantengan adalah hasil gabungan dari bakat, keahlian, ketekunan, dan cinta. Kecintaan pada tradisi budaya membuatnya memiliki dedikasi tinggi pada batik.
Perjalanan dirinya mengenal, mempelajari, dan menggeluti batik bukan proses yang instan. Anjani memutuskan menggeluti seni membatik sebagai panggilan hati. Darah seni bak mengalir dalam dirinya. Anjani mulai membatik sekitar tahun 2010. Sang ayah yang juga seniman turut menjadi role model Anjani untuk berkesenian.
Perempuan kelahiran 1991 ini mewarisi kemampuan seni dari ayahnya Agus Riyanto, seorang pelukis yang pada 2008 berusaha menghidupkan kembali kesenian bantengan dengan mengumpulkan 1.600 pelaku seni bantengan se-Kota Batu.
Anjani terinspirasi dari gerakan pelestarian budaya yang dilakukan sang ayah terhadap kesenian Bantengan. Aktivitas yang sudah mendarah daging di kotanya. Ia melukis dan mendesain sendiri motif batiknya yang menjadi cikal bakal Batik Banteng Agung.
Anjani adalah alumnus Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Studinya itu turut menunjang dan mengasah keahliannya dalam membatik. Bagi Anjani, Batik Bantengan adalah hasil gabungan dari bakat, keahlian, ketekunan, dan cinta.
Anjani, saat menjadi mahasiswa pun selalu memasukkan unsur budaya Bantengan dalam setiap tugas kuliahnya. Dosen-dosennya sampai memanggilnya dengan nama ‘Anjani Bantengan’ karena itu.
Lambat laun, Anjani terus belajar dan berusaha menghidupi batik. Hingga di tahun 2014, Anjani mendirikan sanggar dan galeri batik bernama Andaka. Di tahun yang sama, ia juga berhasil menggelar pameran pertamanya di Galeri Raos. Sekaligus meluncurkan Batik Banteng Agung yang didesainnya menjadi batik yang ikonik khas Kota Batu.
Ternyata pameran itu banyak peminat. Sampai sampai Wali Kota Batu waktu itu, Edy Rumpoko bangga dengan munculnya Batik Banteng. Pada waktu itu pula Batik Banteng dipatenkan sebagai Batik Khas Kota Batu. Tidak hanya itu, Wali Kota kemudian menjadikan Batik Banteng sebagai seragam wajib pegawai di Pemkot Batu.
Dari 54 kain yang ditampilkan dalam pameran perdananya, ia menyisakan satu lembar. Persoalan datang ketika Istri Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko, mengajaknya pameran di Praha, Republik Ceko. Dua pekan menuju hari H, Anjani cuma sanggup membuat 10 lembar kain. Ia sadar, ternyata tidak mudah mencari pembatik yang tekun dan bagus.
Seperti Agus ayahnya, Anjani punya komitmen yang kuat terhadap pelestarian Bantengan. Kendati caranya berbeda, namun semangatnya sama. “Bantengan itu asalnya dari leluhur, harus kita lestarikan,” kata Anjani.
Sejak awal tercetusnya Batik Banteng, sejumlah pameran kain batik berskala lokal, nasional maupun internasional pun pernah Anjani ikuti. Seperti pada 2014, Batik Tulis Banteng pernah dipamerkan di Kota Praha, Republik Ceko. Tidak hanya itu, pameran ke sejumlah negara lain juga pernah ia lakoni. Seperti ke Australia, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan India.
Di tahun 2015, ia bertemu dengan Aliya, gadis berusia 9 tahun yang tertarik mempelajari cara membatik. Sejak itu, Anjani memilih melatih anak-anak menjadi pembatik di sanggar. Anjani dengan senang hati membagi ilmu di sanggar dan galeri batik Andaka.
Selanjutnya, muncul anak-anak lain yang juga ingin belajar membatik. Lama kelamaan ada lebih dari 58 anak yang belajar membatik di sanggarnya. Sebanyak 28 anak di antaranya menjadi pembatik aktif.
Setiap bulan, Sanggar Andana menghasilkan 45 lembar kain batik. Setiap lembar dijual Rp300 ribu-750 ribu. Dengan begitu, selain melestarikan batik banteng agung, ia juga memberikan keuntungan ekonomi kepada para pembatik muda.
Dari setiap kain yang terjual, Anjani hanya mengambil 10 persen. Uang itu digunakannya untuk membeli kain, pewarna, dan perlengkapan lain. Selebihnya menjadi hak para pembatik anak-anak. Tak jarang, Anjani menguras gajinya sebagai guru honorer di SMPN I Batu yang tak seberapa untuk menambal berbagai biaya sanggarnya.
Penobatan sebagai batik khas Batu tidak serta merta mengangkat derajat Batik Bantengan. Memasyarakatkan motif baru tidak sesederhana menggelar pameran. Alih-alih glamor, perjuangan Batik Bantengan Anjani Sekar Arum berjalan di tingkat akar rumput.
“Mempertahankan motif ini, menguatkan motif ini menjadi motif khas Batu, memang susah, Bertentangan dengan politik, dengan banyak hal. Mau tidak mau kita harus ‘perang’ dengan itu.” ujar dia.
Sejak 2017 Anjani bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Batu untuk memasyarakatkan Batik Bantengan. Dinas Pendidikan membagikan secara cuma-cuma peralatan membatik - yang harganya tidak murah kepada sekolah-sekolah berakreditasi A di Kota Batu sementara Anjani menyediakan para pebatik muda di sanggarnya untuk menjadi pengajar ekstrakurikuler membatik di sekolah-sekolah terpilih.
Pengajar-pengajar ini bukan orang dewasa. Seperti anak-anak yang mereka ajari, para pengajar yang berasal dari Sanggar Batik Tulis Andhaka juga anak-anak usia sekolah. Hal itu karena hati kecilnya, ada kekhawatiran Anjani soal matinya Kota Batu sebagai kota wisata.
Ia beranggapan, menurunkan keahlian membatik kepada generasi muda adalah cara melestarikan budaya. Kini, batik karyanya tidak hanya dikenal di dalam negeri, Batik Banteng kini telah merambah pasar internasional.
Tingginya dedikasi Anjani melestarikan budaya sembari di saat yang bersamaan mengangkat derajat ekonomi para pembatik muda membuatnya menjadi Penerima Apresiasi SATU Indonesia Award di kategori Kewirausahaan pada tahun 2017.
Program tersebut diinisiasi Astra untuk menjaring anak-anak muda Indonesia yang memiliki kegiatan bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya di seluruh Nusantara.
Berkat penghargaan tersebut, kemudian Anjani dipercaya Yayasan Pendidikan Astra untuk turut membangun Kampung Wisata Edukasi Pembatik Cilik di Yogyakarta. Anjani mengelola sekolah binaan tersebut. Ia juga membangun sanggar dan galeri batik di Yogyakarta. Ia memberdayakan warga setempat untuk melestarikan batik.
Singkat cerita, tahun 2023 Anjani menyelesaikan program desa binaan di Yogyakarta dan mulai menyeriusi lagi usaha batik di Kota Batu. Kali ini Anjani lebih fokus melibatkan anak-anak muda, mengenalkan teknologi digital, dan menyeriusi wisata edukasi membatik yang sempat dirintis sebelumnya. Semakin lama wisata edukasi membatik yang menjadi salah satu pilar ekonomi Anjani.
Melangkah lagi dengan memanfaatkan teknologi, Anjani dan tim mulai menjual baju batik siap pakai secara live setiap hari. Ia juga membebaskan anak-anak muda yang diajaknya bekerja sama untuk berinovasi terkait batik. Baik dalam produksi, ataupun dalam penjualan.
Anjani ingin menepis kesan bahwa batik itu lekat dengan orang, kaku, dan harus selalu pakai pakem tertentu. “Tidak, batik banteng agung ini bukan batik dengan pakem khusus. Kami membebaskan pembatiknya berkarya, tentu dengan koridor yang telah saya arahkan sehingga karyanya bisa lebih variatif dan indah,” ungkap Anjani.