Transformasi Transmigrasi dan Peta Jalan Anak Muda Bangun Masa Depan
- Istimewa dok Fahmi
Malang, VIVA – Indonesia merupakan negara yang memiliki lebih dari 13.000 pulau dengan kurang dari 6.000 pulau yang berpenduduk. Dengan sebaran wilayah yang seluas itu, Indonesia selalu identik dengan kemajemukan, yang dalam nilai-nilai kebangsaan kemudian dibingkai dalam doktrin kebhinekaan sebagai spirit persatuan nasional.
Sejak Indonesia merdeka (atau bahkan sebelumnya) Pulau Jawa menjadi salah satu pulau yang mendominasi basis kependudukan nasional, dimana 61 persen dari total penduduk di Indonesia bermukim di Pulau Jawa. Maka dari itu, pada saat itu, Soekarno sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia senantiasa menggaungkan bahwa transmigrasi sebagai “masalah hidup dan mati bagi bangsa Indonesia.”
Pada tahun 1949, Presiden Soekarno mendengungkan rencana besar untuk memindahkan 48 juta orang dari Pulau Jawa dalam kurun waktu 35 tahun. Namun, berbagai permasalahan nasional yang terjadi pada saat itu, khususnya yang secara spesifik berkaitan dengan situasi perekonomian dan ketersediaan sumber daya anggaran menyebabkan pengurangan target secara radikal.
Bahkan target yang direvisi secara konsisten lebih besar dari jumlah yang dicapai, dan pola ini masih berlanjut. Kendati demikian, kegagalan untuk memenuhi target pada Rezim Pemerintahan Soekarno yang tidak realistis tidak dapat dianggap sebagai indikasi rendahnya prioritas, karena pada kenyatannya transmigrasi selalu menjadi inti dari program pembangunan Indonesia pada setiap rezim pemerintahan setelahnya.
Presiden Prabowo Pelopor “Transformasi Transmigrasi Indonesia.”
Kini, dibawah komando Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, transmigrasi juga tidak lepas dari satu-kesatuan bagian prioritas pembangunan nasional yang tertuang dalam delapan butir Astacita, dimana Presiden Prabowo Subianto secara birokratis melakukan terobosan struktural dengan menaikkan lagi Direktorat Jenderal Transmigrasi pada strata kementerian.
Menteri Transmigrasi Kabinet Merah Putih, Iftitah Sulaiman menginterpretasikan visi besar transformasi transmigrasi sebagaimana yang termaktub dalam delapan butir Astacita pada lima program unggulan diantaranya: Transmigrasi Tuntas; Transmigrasi Karya Nusa; Transmigrasi Lokal; Transmigrasi Gotong Royong; dan Transmigrasi Patriot. Dari kelima program ungulan tersebut, terdapat satu program yang secara sistemik mampu mewadahi kepentingan generasi anak muda zaman ini, karena di tengah permasalahan ketidakpastian akan lapangan pekerjaan dan keterbatasan akses dalam pengembangan kompetensi akademis serta profesional.
Hal ini dikarenakan program Transmigrasi Patriot menawarkan Beasiswa Pendidikan di Universitas terbaik, pelatihan sebagai tentara cadangan dan penempatan di kawasan ekonomi Transmigrasi terintegrasi, selama periode tertentu dengan ikatan dinas untuk mencapai misi swasembada nasional, mendorong pembangunan ekonomi dan menjaga persatuan Indonesia.
Maka dari itu, artikel ini mencoba turut merumuskan kerangka kerja sistemik sebagai bentuk sumbangsih akademis yang didasari pada antusiasme terhadap program transmigrasi patriotik yang dicanangkan oleh Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia.
Transmigrasi Patriot sebagai “Fundamental Key of Development” pengembangan Model Transpolitan
Kerangka kerja dasar yang dapat dilaksanakan dalam mengejewantahkan konsep Transmigrasi Patriot adalah dengan mengkolaborasikannya dengan konsep transpolitan yang merupakan model pengembangan kawasan transmigrasi yang berorientasi/mendorong pada pertumbuhan wilayah baru atau wilayah yang sudah ada yang terbentuk dari satuan permukiman terintegrasi, dimana transmigrasi tidak lagi hanya untuk menjawab persoalan persebaran penduduk, tetapi juga harus mampu menjawab persoalan pemerataan pertumbuhan yang berbasis pada pengembangan wilayah yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi.
Artinya, dengan konsepsi Transmigrasi Patriot yang bertitik tumpu pada peningkatan kualitas sumber daya manusia pra menjadi transmigran, metode transpolitan menjadi sangat relevan mengingat dengan ditopang peningkatan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni, transpolitan dapat tercipta seiring dengan komposisi penduduk transmigran yang tidak hanya mampu hidup dengan berbagai metode tradisional melaikan juga mampu mengejewantahkan berbagai konsep pembangunan multisektoral secara modern.
Misalnya saja dalam kepentingan pembangunan sektor agrikultur, transmigran yang diisi oleh pemuda-pemuda yang telah terlebih dahulu mengenyam pendidikan tinggi dapat bereksplorasi dalam pembaharuan metode pertanian yang lebih modern seperti “agricultre 4.0” yang begitu sulit diterapkan di pedesaan-pedesaan yang masih tradisional, dengan harapan dapat meningkatkan kapasitas dan produktivitas sektor pangan nasional.
Anak Muda dan Mimpi Terwujudnya “Agriculture 4.0” Pertanian pada dasarnya merupakan identitas nasional Bangsa Indonesai sebagai negara agraris yang berperan penting dalam pembangunan ekonomi. Namun, seiring dengan meningkatnya variabilitas iklim, degradasi tanah, dan kelangkaan air mengancam produksi pangan.
Dengan hadirnya program Transmigrasi Patriotik, pelaksanaan tata kelola pertanian berbasis Agriculture 4.0 semakin dekat dengan kenyataan, sebagai solusi atas berbagai permasalahan yang mengelilingi pertanian tradisional. Agriculture 4.0 yang secara konsep berorientasi pada resiliensi kualitas produk pertanian dari berbagai masalah variabilitas iklim, degradasi tanah, dan kelangkaan air.
Model pertanian semacam ini biasanya meng-elaborasi konsep agroekologi dan smart agriculuture secara bersamaan, yang mana model pertanian ini tidak akan mungkin dapat dilaksanakan tanpa intervensi teknologi dan wawasan ilmiah yang mumpuni. Program Transmigrasi Patriotik mendekatkan Bangsa Indonesia pada transformasi pertanian dalam cara yang paling sederhana, yakni penciptaan petani-petani muda yang melek teknologi dan mampu mengalokasikan berbagai sumber daya yang tersedia dengan sangat efektif dan tepat sasaran, tujuannya satu yakni peningkatan produktifitas pertanian dan ketahanan produk pertanian dari berbagai masalah iklim, degradasi tanah, dan kelangkaan air.
Hal ini sekaligus mengatasi permasalahan yang sangat mendasar dari perkembangan sektor pertanian nasional, yakni regenerasi petani yang kian hari kian melambat atau bahkan hampir mencapai angka tidak ada sama sekali. Dengan mengirimkan anak-anak muda di Indonesia dalam berbagai program pendidikan pertanian yang berkualitas, di universitas-universitas ternama di Indonesia, dan menjadikan mereka sebagai transmigran untuk mengisi ruang-ruang yang belum teroptimalisasi manfaat atas sumber daya nya di berbagai wilayah di Indonesia, agriculture 4.0 bukan tidak mungkin akan menjadi kenyataan.
Dengan demikian, wacana mengenai kelangkaan sumber daya pangan akan teratasi secara sistemik, dan Indonesia akan kembali menjadi raja dalam konstelasi pertanian global sebagai penyokong kebutuhan pangan bukan hanya secara domestik melainkan dalam skalasi internasional.
Tulisan opini dari Dewan Penasehat Institute for Youth Economic and Political Studies - Fahmi N Ismail