KSM Beri Penjelasan Masalah Sampah Pasar Pagi Among Tani
- VIVA Malang / Galih Rakasiwi
Batu, VIVA – Penanganan sampah di Pasar Pagi Among Tani Kota Batu kembali menjadi sorotan. Sampah yang dihasilkan ratusan pedagang kerap menumpuk, menimbulkan perdebatan terkait pengelolaannya.
Selama ini, pengelolaan sampah di Pasar Pagi dilakukan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), berbeda dengan pedagang tetap Pasar Induk Among Tani yang sampahnya dikelola langsung oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batu.
Menurut Wakil Ketua KSM, Rokim, kebijakan pengelolaan sampah Pasar Pagi oleh KSM telah diatur dalam Surat Keputusan (SK) yang diterbitkan oleh Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Perindustrian, dan Perdagangan (Diskumperindag) Kota Batu serta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pasar Induk Among Tani. Keputusan tersebut juga diperkuat melalui hasil rapat dengar pendapat dengan DPRD Kota Batu.
“Sesuai dengan SK yang diterbitkan Diskumperindag Kota Batu dan UPT Pasar Induk serta hasil hearing dengan DPRD, untuk sampah Pasar Pagi dikelola oleh KSM. Pengelolaan oleh KSM juga sudah disetujui oleh pedagang Pasar Pagi melalui 19 kelompok yang ada,” ujarnya, Jumat, 7 Februari 2025.
Dari total 19 kelompok tersebut, KSM menaungi 1.097 pedagang Pasar Pagi. Namun, jumlah pedagang yang aktif berjualan hanya sekitar 650 hingga 700 orang. Mereka berjualan mulai pukul 24.00 WIB hingga 08.00 WIB.
"Semua kelompok setuju bahwa sampah diambil oleh KSM. Setiap pedagang dikenakan biaya jasa pengambilan sampah sebesar Rp2 ribu per hari," katanya
Selain jasa pengambilan sampah, pedagang juga dikenakan biaya tambahan Rp 6.000 per hari untuk jasa penataan atau bongkar pasang lincak (lapak dagangan). Dengan demikian, total biaya harian yang dikeluarkan pedagang mencapai Rp8 ribu.
"Dalam praktiknya, untuk biaya pengambilan sampah ada toleransi jika dagangan sedang sepi. Namun, untuk jasa bongkar pasang lincak tetap dibayarkan," ujarnya.
Dari total pemasukan tersebut, dana digunakan untuk menggaji 36 pekerja kebersihan dan operasional KSM yang terdiri dari 5 orang. Setiap pekerja mendapatkan gaji sebesar Rp3 juta per bulan. Mereka dituntut bekerja cepat dalam membersihkan sampah serta melakukan bongkar muat lapak.
Dana juga dialokasikan untuk kebutuhan operasional lainnya, seperti penyewaan kendaraan roda tiga (Tosa) untuk mengangkut sampah, penggantian alat tenaga kebersihan, hingga biaya perawatan lincak yang sering mengalami kerusakan.
"Kami juga memiliki tim sendiri untuk perbaikan lincak, yang terdiri dari 4 orang pekerja. Setiap pekannya, seorang pekerja dibayar Rp1,4 juta untuk melakukan perbaikan seperti pengelasan," ujar pedagang sayur ini.
Selain itu, biaya pembuangan sampah cukup besar. Setiap rit (pengangkutan) memerlukan biaya Rp400 ribu.
Meski sistem pengelolaan sampah sudah berjalan, polemik masih terus muncul, terutama terkait legalitas dan payung hukum yang mengatur pengelolaan sampah Pasar Pagi.
Dirinya bersama pedagang lain berharap pemerintah daerah, terutama Wali Kota dan Wakil Wali Kota Batu yang akan dilantik nantinya, dapat memberikan kepastian hukum terkait pengelolaan sampah ini.
"Harapan kami, ada kebijakan dari kepala daerah yang baru, setidaknya dalam bentuk Peraturan Wali Kota (Perwali), agar penanganan sampah Pasar Pagi bisa lebih maksimal dan tidak menimbulkan polemik," ujarnya.
Ia juga menyoroti status pedagang Pasar Pagi yang masih belum memiliki kejelasan hukum. Dengan adanya regulasi yang jelas, ia berharap pengelolaan sampah dapat berjalan lebih baik, dan tidak lagi menjadi perdebatan di kemudian hari.
"Pedagang Pasar Pagi ini kalau dibilang legal, tidak. Dibilang liar juga tidak. Namun, mereka tetap dikenakan retribusi oleh UPT Pasar secara rutin. Makanya kami juga menuntut adanya legalitas status kami seperti apa," tuturnya.